Hari Pertama Pelatihan Pranatacara Kelurahan Pakuncen

Melestarikan Budaya Jawa Melalui Pranatacara

PRANATACARA dalam bahasa Indonesia disebut pewara. Pranatacara merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus karena yang bersangkutan harus memahami benar susunan suatu acara menggunakan bahasa Jawa krama Inggil. Pranatacara sering dihubungkan dengan upacara adat Jawa, seperti pengantin (temanten), kematian (kesripahan), pertemuan (pepanggihan), perjamuan (pasamuan), pengajian (pengaosan), pentas, dan sebagainya.

Kehadiran pranatacara dalam masyarakat Jawa adalah bagian dari pelestarian budaya Jawa yang adiluhung sebagai sumber kearifan dalam kehidupan bermasyarakat dan mencerminkan identitas lokal masyarakat Jawa. Sehingga akan sangat penting bagi masyarakat Jawa untuk tetap melestarikan budaya itu dalam kehidupan. Semakin banyak orang mengenal dan mendengar bahasa Jawa di ranah publik, maka semakin kokohlah bahasa Jawa sebagai cermin budaya bangsa yang ikut membesarkan bangsa Indonesia.

Profesi pranatacara juga sudah mendapat pengakuan dan penghargaan yang baik dari masyarakat dan terua berkembang menjadi profesi menguntungkan. Peran pranatacara dalam acara-acara resmi maupun hiburan, tetap menjadi tolak ukur sukses tidaknya suatu acara. Sehingga dapat dibayangkan bagaimana bila suatu acara tidak ada pranatacaranya, maka acara itu akan terasa tidak urut dan tidak enak dilihat.

Untuk menjadi pranatacara tidak hanya mempunyai bekal keberanian saja, tetapi juga harus mempunyai bekal kemampuan. Keberanian akan timbul apabila seseorang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, dan rasa percaya diri ini timbul bila seseorang mempunyai keyakinan atas kemampuan yang dimiliki.

Seorang pranatacara harus dapat melafalkan dengan benar kata-kata bahasa Jawa krama inggil. Mereka juga diwajibkan mampu mengendalikan suaranya agar tetap menarik dan tidak menjemukan. Selain suara, nafas juga harus di kendalikan secara teratur. Beberapa syarat yang biasanya menjadi dasar bagi pranatacara agar mampu melaksanakan tugasnya antara lain adalah, memiliki kemampuan olah swara (teknik vocal).

Pranatacara harus mengutamakan, memperhatikan penampilan. Peribahasa dalam bahasa Jawa menyebut, ajining diri gumantung kedaling lathi, ajining raga gumantung ing busana. Peribahasa itu sesuai profesi pranatacara. Seorang pranatacara akan tampil sangat bagus jika didukung bagusnya suara, postur badan dan pakaiannya. Olah raga berhubungan dengan sikap, solah bawa, kesusilaan, dan subasita. Olah raga, atau cara berpenampilan yang baik bagi pranatacara selalu diawali keadaan tubuh yang sehat, suara yang tidak serak, volume suara yang enak didengar, tidak melengking dan tidak rendah.

Pambyawara juga harus mengenali tempat dimana acara diselenggarakan, mengenali karakteristik tamu dan memandang mereka sebagai sahabat. Ia bisa melakukan gerakan tangan seperlunya saat berada di atas pentas, tidak berlebihan apalagi untuk menutupi kegugupan, karena gerakan tubuh yang berlebihan hanya akan mengacaukan penampilan dan tampil percaya diri.

Olah busana atau cara berpakaian yang baik bagi pranatacara merupakan hal yang wajib diketahui dan dimengerti dengan baik agar penampilan dan gaya berpakaian sesuai acara yang sedang dibawakan. Memakai pakaian yang serasi/cocok dengan acara, harus dibicarakan dengan panitia. Contohnya ketika menjadi pranatacara adat temanten Jawa, apakah menggunakan pakaian adat/kejawen (busana adat Ngayogyakarta atau Surakarta), seragam dengan panitia ataukah tidak, menggunakan busana nasional/formal ataukah tidak. Busana dalam acara pernikahan tentu akan berbeda dengan busana ketika menjadi pranatacara kematian. Busana resmi akan berbeda dengan busana santai. Busana yang dipakai dalam acara di dalam gedung pasti berbeda dengan acara di rumah. Warna busana pun harus dipilih dengan seksama, agar tidak terlihat menyolok, terlalu terang, atau terlalu banyak memakai aksesoris.

Seorang pranatacara harus memiliki kemampuan “Olah basa lan sastra” (kemampuan berbahasa dan sastra). Agar dapat mengolah bahasa dengan baik, seorang pranatacara harus mengetahui dan memahami paramasastra (fonologi, morfologi, semantik, sintaksis), wacana, dan pragmatik. Pengetahuan yang luas mengenai paramasastra Jawa diharapkan dapat membuat pranatacara mampu mengucapkan kata-kata, frasa, kalimat, ungkapan, wacana Bahasa Jawa krama inggil dengan laras dan leres. Laras artinya, pranatacara mampu menggelar acara sesuai dengan keadaan dan suasana. Leres artinya pranatacara bisa menggunakan bahasa yang sesuai dengan paramasastranya.